Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kijang, ia tinggal di sebuah hutan dan hidup
dari buah-buahan yang ada di hutan tersebut.
Pada waktu itu, ia hidup dari buah pohon sepa (Gmelina
Arborea). Di desa, terdapat seorang pemburu yang melakukan perburuan dengan
cara membangun panggung kecil di cabang pohon tempat ia menemukan jejak rusa;
ia mengamati dari atas saat rusa itu datang untuk makan buah dari pohon
tersebut. Saat rusa muncul, ia membunuhnya dengan menggunakan tombak, dan
menjual daging rusa itu untuk menghidupi dirinya. Suatu hari, ia menemukan
jejak kaki Bodhisatta di sebuah pohon, ia pun membangun panggung kecil di
cabang pohon tersebut.
Setelah sarapan lebih awal, ia membawa tombaknya dan masuk ke
hutan itu, kemudian duduk di panggung kecil yang telah dibangunnya. Bodhisatta
juga muncul pagi-pagi untuk makan buah dari pohon tersebut, namun ia tidak
segera menghampiri tempat itu. Ia berpikir, “Kadang-kadang pemburu membangun
panggung kecil di dahan pohon. Apakah hal itu juga terjadi di pohon ini?” Ia
berhenti di tengah jalan untuk mengintip kesalahan.
Melihat Bodhisatta tidak mendekat, pemburu yang masih duduk di panggung itu melemparkan buah-buahan ke hadapan kijang itu. Berpikirlah kijang itu, “Buah-buahan ini datang sendiri kepadaku. Saya ragu apakah ada pemburu di atas sana.” Maka ia memperhatikan lebih teliti lagi, akhirnya terlihat juga olehnya pemburu yang berada di atas pohon itu, namun ia berpura-pura tidak melihatnya,
Bodhisatta berkata
kepada pohon itu, “Pohonku yang sangat berharga, sebelumnya engkau mempunyai
kebiasaan untuk menjatuhkan buah ke tanah dengan gerakan laksana anting-anting
yang menjalar turun, namun hari ini kamu berhenti bertingkah seperti sebuah
pohon, saya juga harus berubah, dengan mencari makanan di bawah pohon yang
lain.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair
berikut ini :
Kijang
ini mengetahui dengan baik buah yang engkau jatuhkan; saya tidak
menyukainya, saya akan mencari pohon lain.
Pemburu itu melemparkan tombaknya ke arah Bodhisatta dari
panggung itu, dan berteriak, “Pergi! Saya tidak mendapatkanmu kali ini.”
Membalikkan badannya, Bodhisatta berhenti sejenak dan berkata, “Engkau memang
tidak mendapatkan saya, Teman yang baik, namun percayalah, engkau tidak
kehilangan akibat perbuatanmu, yakni delapan neraka besar (mah?niraya) dan enam
belas neraka kecil (ussadaniraya), serta lima bentuk ikatan dan siksaan.”
Diiringi dengan kata-kata ini, kijang itu meninggalkan tempat itu, pemburu itu
juga turun dari panggung itu dan pergi dari sana.
Moral:
Buddha
mengajarkan bahwa kita tidak boleh membunuh binatang. Salah satu alasannya
adalah, karena mungkin saja binatang tersebut adalah reinkarnasi/tumimbal lahir
dari manusia. Kasihlah semua makluk hidup.
0 komentar untuk Cerita Buddhis: Kijang yang Cerdas.
Perlihatkan Semua Komentar Tutup Semua Komentar