10 Kekeliruan Tentang Agama Buddha



Oleh Seng Hansen
Banyak orang, bahkan umat Buddha sendiri yang keliru dalam memahami ajaran Buddha. Beberapa kekeliruan itu terbentuk selain karena pergaulan dalam komunitas yang lebih dominan, juga harus disadari karena kita sendiri sebagai umat Buddha terkadang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap ajaran mulia ini. Berkat rasa bakti dan pengabdian jutaan umat Buddha di seluruh dunia dari sejak jaman dulu kala hingga saat ini, agama Buddha berhasil bertahan selama lebih dari 2500 tahun – sebuah usia yang cukup tua bagi sebuah agama. Tetapi yang patut kita perhatikan pula adalah bahwasanya dalam perkembangannya selama kurun waktu tersebut, ajaran Buddha telah sedikit banyak menerima berbagai akulturasi dan adaptasi yang terkadang bahkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Buddha sendiri. Berikut adalah 10 kekeliruan yang berkembang mengenai ajaran Buddha yang saya rangkum dari blog Barbara O’ Brien.

1. Buddha mengajarkan tidak ada sesuatu yang eksis

Ajaran Buddha tidak mengajarkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang eksis, melainkan menantang pemahaman kita bagaimana sesuatu dapat eksis dan kemudian lenyapnya. Jadi lebih kepada prosesnya. Ajaran Buddha mengajarkan bahwa makhluk-makhluk dan segala fenomena yang berkondisi tidak memiliki eksistensi yang intrinsik. Tetapi ajaran Buddha tidak mengajarkan bahwa tidak ada eksistensi sama sekali.

Kekeliruan mengenai “tidak ada sesuatu yang eksis” ini kemungkinan besar berasal dari konsep anatta (tidak ada atta/diri yang kekal) dan konsep shunyata dalam Mahayana. Tetapi sebenarnya keduanya bukanlah konsep mengenai “tidak ada eksistensi”, melainkan konsep bahwa kita manusia mengalami eksistensi yang terbatas atau dengan kata lain tidak ada sesuatu yang kekal.

2. Umat Buddha mempercayai reinkarnasi
Apabila anda mendefinisikan reinkarnasi sebagai sebuah proses perpindahan jiwa dari satu tubuh yang mengalami kematian ke tubuh baru, maka jawabannya Buddha tidaklah mengajarkan doktrin tersebut. Apa yang Buddha ajarkan lebih tepat disebut sebagai kelahiran kembali atau rebirth. Kelahiran kembali atau rebirth disini diartikan sebagai bentuk energi atau kondisi yang telah dibuat oleh seseorang yang akan berlangsung pada kelahirannya di kehidupan mendatang – dan bukan perpindahan jiwa. Namun pada kenyataannya banyak pula umat Buddha yang memilih bersikap agnostik terhadap konsep tumimbal lahir ini.

3. Umat Buddha harus menjadi vegetarian

Mungkin pada beberapa tradisi buddhis menjadi vegetarian merupakan suatu kewajiban. Tetapi kebanyakan tradisi dan biarawan/biarawati memandang bahwa vegetarianisme sebagai suatu pilihan pribadi, dan bukan perintah dalam agama Buddha.

Dalam teks-teks Pali, Buddha sendiri tidak pernah disebutkan sebagai seorang vegetarian. Para bhikkhu dan termasuk Buddha sendiri, berjalan mengumpulkan dana makanan dan peraturannya adalah bahwa makanan apapun yang diberikan oleh umat awam haruslah diterima dan dimakan, termasuk daging - kecuali apabila bhikkhu tersebut telah mengetahui bahwa daging tersebut dibunuh khusus untuk dipersembahkan kepada bhikkhu, maka bhikkhu dilarang memakan daging tersebut.

4. Karma adalah takdir

Karma bukanlah takdir. Arti dari kata karma adalah perbuatan, dan bukan takdir. Dalam ajaran Buddha, karma adalah energi dari perbuatan yang telah dilakukan baik melalui perbuatan badan jasmani, ucapan, maupun pikiran. Kita menciptakan karma setiap saat dan akan menerima akibat atau buah daripadanya.

Di lain sisi, apabila kita membandingkan buah karma (hasil dari perbuatan kita) dengan takdir, juga memiliki pengertian yang jauh berbeda. Takdir adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh kehendak Yang Kuasa, sedangkan buah karma adalah sesuatu yang diperoleh berkat perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Jadi meyakini hukum karma seharusnya membuat seseorang menjadi lebih bertanggung jawab terhadap hidupnya.

5. Karma akan menghukum siapa saja yang pantas menerimanya

Ini juga merupakan suatu kekeliruan. Dalam ajaran Buddha tidak dikenal istilah hadiah atau hukuman. Demikian pula karma, karma bukanlah sebuah sistem keadilan atau penghukuman terhadap manusia. Kalau dianalogikan karma itu seperti hokum gravitasi: apapun yang kamu lempar ke atas/dari atas, akan turun/jatuh juga ke bawah. Demikian pula karma: apapun yang kamu perbuat, itu pula yang akan kamu terima.

Satu lagi yang patut dipahami adalah dunia ini tidak hanya bekerja hukum karma saja. Karma bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap banyak fenomena dalam kehidupan kita. Untuk lebih jelasnya bisa dipelajari dalam niyama.

6. Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menderita

Jelas ini merupakan kekeliruan besar. Pernah saya ditanya oleh teman yang non-buddhis mengapa ajaran Buddha hanya berkisar pada penderitaan saja. Saya sempat kebingungan dan terheran-heran atas pertanyaan tersebut. Dalam hati saya bertanya apakah itu berarti umat non-buddhis menerima informasi yang keliru mengenai ajaran Buddha?

Buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup menderita. Sebaliknya, tujuan utama Beliau sehingga menjadi seorang Buddha adalah membebaskan manusia dari penderitaan. Pandangan keliru yang mengatakan bahwa ajaran Buddha mengajarkan penderitaan tampaknya berasal dari
kekeliruan sebagian orang terhadap butir pertama dari Empat Kesunyataan Mulia, yakni bahwa hidup adalah penderitaan. Sebenarnya apabila kita teliti, kata dukkha kurang tepat diartikan sebagai penderitaan. Lebih tepatnya dikatakan sebagai sesuatu yang tidak memuaskan, sesuatu yang tidak permanen, sesuatu yang cenderung berubah. Jadi bahkan kebahagiaan maupun kemalangan bisa disebut dukkha, karena mereka datang dan pergi setiap saat dalam kehidupan kita.

Lebih dari itu, Buddha tidak hanya mengajarkan bahwa hidup adalah dukkha saja. Tetapi juga apa penyebabnya (butir kedua), apakah ada kemungkinan terbebas dari dukkha (butir ketiga) dan bagaimana cara agar terbebas dari dukkha (butir keempat). Dengan demikian jelaslah bahwa Buddha adalah seseorang yang sangat peduli terhadap kepentingan umat manusia, dan ajarannya bukanlah ajaran pesimis, melainkan sangat optimis.

7. Umat Buddha bersembahyang pada patung Buddha

Jelas ini kekeliruan besar. Dalam kitab Tipitaka, Buddha sendiri menjelaskan bahwa yang kelak akan menggantikan diriNya ketika Beliau sudah tiada adalah Dhamma dan Vinaya. Dalam perkembangan awal ajaran Buddha di India pun, umat Buddha masih belum mengenal patung Buddha atau Buddha rupang. Bahkan banyak dari para pelajar buddhis dan umat Buddha beranggapan bahwa Buddha Gotama adalah manusia biasa yang kemudian berkat usaha kerasnya sendiri berhasil menemukan Pencerahan.

Akan tetapi bermula dari rasa bakti dan niat baik, para umat pun mulai membuat patung-patung Buddha dengan tujuan untuk mengingat kembali kehadiran Beliau di dunia ini dan ajaran-ajaranNya. Jadi umat Buddha tidak bersembahyang pada patung Buddha karena umat Buddha sama sekali tidak mengidol-kan patung Buddha tersebut atau meminta-minta sesuatu pada patung tersebut. Selain itu bagi para buddhis, patung Buddha juga merepresentasikan sifat keBuddhaan yang ada dalam diri setiap makhluk. Dengan menyadari hal ini maka gambar, patung atau simbol buddhis apapun bagi para buddhis adalah sebagai objek penghormatan dan pengingat kembali akan ajaran-ajaran Buddha.

8. Ajaran Buddha bukanlah sebuah agama

Sebenarnya pernyataan di atas muncul karena kata “agama” yang didefinisikan secara umum memiliki konsep keTuhanan yang tunggal, mempercayai kitab suci masing-masing, dan biasanya memiliki nabi-nabi penyebar agama. Mengingat syarat-syarat tersebut tentu saja agama Buddha tidak dapat disebut sebagai agama. Tetapi dalam pandangan saya pribadi, kata “agama” seharusnya lebih luas daripada itu. Definisi agama hanya sebatas sebuah sistem kepercayaan terhadap Tuhan (atau sesosok Maha Dewa atau dengan sebutan apapun lainnya) dan terhadap isi kitab suci saja tentulah sangat sempit. Seharusnya kita mendefinisikan agama dari tujuan awal diciptakannya agama itu dalam komunitas manusia. Yang saya yakini, tujuan awal dari penciptaan sebuah maha karya bernama agama adalah demi memberikan arah hidup yang benar bagi manusia sehingga tercipta perdamaian diri dan perdamaian dunia. Cara hidup atau pedoman hidup itulah yang seharusnya menjadi hal pokok dalam mendefinisikan kata agama. Atau kalau kita mau lebih global, kita bisa melihat dari definisi “religion” (bahasa inggris), yakni sebuah sistem kepercayaan berkenaan dengan sebab, sifat/karakteristik, dan tujuan dari alam semesta ini .

Jadi menurut saya, ajaran Buddha sebagai pedoman hidup jelas merupakan sebuah agama. Sebuah agama yang besar yang darinya banyak jaman keemasan muncul di berbagai belahan bumi. Bahkan menurut saya, ajaran Buddha tidak hanya sekedar agama, tetapi juga pedoman hidup, filosofi, ilmu pengetahuan, dan gaya hidup.

9. Umat Buddha menjauhi kemelekatan, jadi mereka tidak bisa menjalin hubungan apapun.
Ini juga merupakan pernyataan keliru yang bahkan sering kali diartikan oleh umat Buddha sendiri. Memang benar Buddha mengajarkan kita untuk tidak melekat, selalu berlatih melepas, tetapi bukan berarti kita dianjurkan untuk tidak memiliki pertalian hubungan dengan siapapun. Menjauhi kemelakatan tidak berkaitan dengan masalah menjalin hubungan. Justru hubungan harus diperlihara dengan baik, dipupuk, dan dirawat, hingga pada saat akhirnya harus berpisah, pun berpisah dengan baik – tidak melekat, tidak menjadi menderita karenanya.

Menjauhi kemelekatan adalah pada saat kita menerima kondisi yang berbeda (entah itu menyenangkan atau pun tidak menyenangkan), kita sadar bahwa segala sesuatu itu memang tidak ada yang kekal, selalu berubah, dan oleh karena itu bersedia untuk melepasnya, menerima kondisi apapun yang terjadi dengan kesadaran.

10. Tidaklah mungkin filosofi dan sistem moral buddhis terlalu ideal untuk diterapkan.

Secara umum Buddha memang mengajarkan ajaranNya kepada dua pihak yang berbeda, yakni umat rohaniawan dan umat awam. Mungkin sistem moral buddhis (sila) bagi umat rohaniawan memang dirasakan cukup sulit untuk dijalankan, tetapi Buddha telah memberikan sistem moral yang bisa dilaksanakan oleh umat awam yakni Pancasila buddhis. Menerapkan kelimanya bisa dilakukan dan hal itu telah terbukti melalui catatan-catatan di negara-negara buddhis. Rakyat hidup tenteram, pemerintah berjalan dengan benar, pertikaian sedikit, seni dan ilmu pengetahuan berkembang. Menurut saya menjalankan Pancasila buddhis dalam kehidupan sehari-hari tidaklah begitu sulit.

Kemudian menanggapi pernyataan bahwa filosofi buddhis terlalu dalam dan ideal untuk diterapkan, yah menurut saya justru filosofi yang benar adalah selain filosofi yang masuk akal, juga harus merupakan filosofi yang bisa diterapkan, yang bisa dilakukan. Dan bagi saya filosofi buddhis adalah yang terbaik yang pernah dikenal dunia.

19.42 - tanpa komentar

0 komentar untuk 10 Kekeliruan Tentang Agama Buddha.


Perlihatkan Semua Komentar Tutup Semua Komentar